Dampak Konflik dan Pergolakan Indonesia tahun 1960-an di Bidang Ekonomi

Konflik yang terjadi di Indonesia antara tahun 1955 sesaat setalah pemilu Indonesia yang pertama dan dekrit presiden sampai tahun 1960-an juga berdampak di bidang ekonomi.

Peristiwa-Peristiwa di Bidang Ekonomi

Pengakuan kedaulatan ternyata belum bisa menyelesaikan perjuangan yang dijalankan bangsa Indonesia. Belanda meninggalkan beban utang luar negeri kita sebesar Rp1,5 miliar dan utang dalam negeri sejumlah Rp2,8 miliar.

Defisit pemerintah waktu itu sejumlah Rp5,1 miliar. Ada beberapa langkah yang diambil oleh pemerintah untuk mengurangi beban tersebut.

1) Menteri Keuangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Serikat Nomor PU I tanggal 19 Maret 1950.

Dengan dasar keputusan ini pemerintahan Kabinet Hatta melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp5,00 ke atas sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijakan ini biasa disebut sanering.

Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 21 Tahun 1950 tentang Pengeluaran Uang Kertas Baru. Kebijakan menteri keuangan itu sendiri menuai banyak kritikan sehingga mendapat sebutan Gunting Sjafruddin.

2) Pemerintah mengajukan pinjaman kepada negara-negara luar. Jumlah yang didapat dari pinjaman wajib sebesar Rp1,6 miliar dan dari negeri Belanda sebesar Rp200.000.000,00. Pinjaman-pinjaman itu bisa digunakan untuk mengurangi defisit.

Dampak Konflik dan Pergolakan Indonesia tahun 1960-an di Bidang Ekonomi
Simbol Ekonomi

3) Pemerintah berusaha mendapatkan kredit dari luar negeri. Kredit tersebut akan digunakan untuk pembangunan prasarana ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah mengirim Misi Djuanda.

Menteri Kemakmuran Ir. Djuanda dikirim ke Amerika Serikat dan mendapat kredit dari Exim Bank of Washington sejumlah $ 100.000.000.

Dari jumlah tersebut $ 52.245.000 di antaranya digunakan untuk membangun proyek-proyek pengangkutan otomotif, pembangunan jalan, telekomunikasi, pelabuhan, kereta api, dan perhubungan udara.

Mulai tahun 1951 penerimaan pemerintah mulai berkurang. Saat itu volume perdagangan internasional mengalami penurunan. Indonesia sendiri tidak memiliki barang-barang ekspor lainnya kecuali hasil perkebunan.

Hal itu diperparah dengan semakin tingginya pengeluaran pemerintah. Pengeluaran ini dilatarbelakangi adanya ketidakstabilan situasi politik, perluasan program pemerintah, dan biaya untuk operasioperasi keamanan dalam negeri.

Kondisi itu menimbulkan defisit anggaran. Oleh karena defisit ini, ada kecenderungan untuk mencetak uang baru. Dampak selanjutnya adalah tingginya laju inflasi yang bisa menghambat produksi karena naiknya upah.

Untuk mengatasinya, pemerintah berusaha keras untuk meningkatkan penghasilan negara. Caranya antara lain dengan meninjau kembali kebijakan moneter dan melakukan nasionalisasi berbagai perusahaan dan aset Belanda.