Konfrontasi Politik dan Ekonomi dalam Upaya Pembebasan Irian Barat

Berbagai jalur diplomasi untuk pembebasan Irian Barat telah ditempuh, baik diplomasi atau perundingan langsung dengan pihak Belanda maupun diplomasi melalui sidang Umum PBB. Namun langkah-langkah diplomasi tersebut belum membuahkan hasil.

Konfrontasi Politik dan Ekonomi

Secara konkret, PBB tidak dapat menyelesaikan masalah Irian Barat. Hal ini mendorong bangsa Indonesia untuk menempuh jalan lain sebagai  upaya membebaskan Irian Barat dari cengkeraman Belanda. Upaya tersebut diuraikan sebagai berikut.

a. Pembubaran Uni Indonesia-Belanda Secara Sepihak

Seperti telah dijelaskan di depan, pada tanggal 3 Mei 1956 Indonesia membatalkan hubungan Indonesia-Belanda berdasarkan isi perjanjian KMB. Pembatalan itu dilakukan secara terpaksa karena sesungguhnya Indonesia selalu menaati perjanjian yang ditandatangani.

Hal ini dilakukan karena sikap Belanda yang tetap bersikukuh untuk menguasai Irian Barat. Pembatalan hubungan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1956. Undang-undang ini sekaligus sebagai penegasan terhadap pembubaran Uni Indonesia-Belanda.

Dampak Pembubaran Uni Indonesia-Belanda

Tidak dapat dimungkiri pembubaran Uni Indonesia-Belanda membawa dampak, baik bagi Indonesia maupun Belanda. Dampak dari pembubaran Uni Indonesia- Belanda sebagai berikut.

Konfrontasi Politik dan Ekonomi dalam Upaya Pembebasan Irian Barat
Pembebasan Irian Barat

1) Dampak Bagi Indonesia

a) Pengusaha pribumi harus bersaing dengan pedagang asing khususnya Cina.

b) Timbulnya upaya dari pemerintah untuk memberikan bantuan kepada pengusaha nasional.

c) Timbulnya perasaan anti-Cina di kalangan masyarakat Indonesia yang terjadi di beberapa kota, misalnya di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surakarta. Bangsa Indonesia berusaha melepaskan diri dari ikatan ekonomi dengan Belanda.

2) Dampak Bagi Belanda


Banyak pengusaha Belanda di Indonesia yang menjual perusahaannya kepada pedagang Cina.

b. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia

Pada tanggal 2 Desember 1957 para buruh yang bekerja pada perusahaan-perusahaan Belanda melakukan aksi mogok. Dalam waktu yang sama pemerintah Indonesia melakukan hal-hal seperti di bawah ini.

Pertama, pelarangan penerbangan KLM mendarat atau terbang di atas wilayah Republik Indonesia. Kedua, pelarangan beredarnya penerbitan dan film yang menggunakan bahasa Belanda.

Selain itu, pada tanggal 5 Desember 1957 pemerintah memberhentikan atau memutuskan semua kegiatan perwakilan konsuler Belanda di Indonesia.

Nasionalisasi perusahaan Belanda oleh pemerintah Indonesia dilaksanakan pada bulan Desember 1958, menyangkut tujuh ratus perusahaan. Untuk mengatur nasionalisasi perusahaan tersebut, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1958.

Peraturan ini dikeluarkan karena sejak tahun 1957 banyak perusahaan milik Belanda secara spontan diambil alih para buruh dan rakyat yang bekerja pada perusahaan tersebut, seperti Nederlandsche Handel Maatschappij N.V. (N.H.M. N.V.) yang kemudian bernama Bank Dagang Negara; Bank Escompto milik Belanda di Jakarta; serta perusahaan Phillip dan KLM.

c. Pembentukan Provinsi Irian Barat

Pembentukan Provinsi Irian Barat dengan ibu kota Soasiu (Maluku Utara) dilaksanakan setelah pembatalan hubungan Indonesia-Belanda.

Provinsi Irian Barat dibentuk pada tanggal 17 Agustus 1956 dengan wilayah meliputi wilayah yang masih diduduki Belanda serta daerah Tidore, Oba, Weda, Patani, dan Wasile di Maluku Utara. Gubernur Irian Barat yang diangkat pertama adalah sultan Tidore, yaitu Zaenal Abidin Syah.