Dewan Banteng, Dewan Gajah dan Dewan Garuda: Dampak Konflik dan Pergolakan Politik tahun 1960-an

Kita akan menganalisis persoalan-persoalan yang lahir dari hubungan pusat-daerah, persaingan ideologis, dan pergolakan sosial politik sampai tahun 1960-an. Rata-rata konflik itu disebabkan sisa-sisa pengaruh Belanda, perebutan kekuasaan, serta ketidaksiapan daerah dalam menerima dan menjalankan kebijakan pemerintah pusat.

Dampak Persoalan Hubungan Pusat-Daerah

Ada dua hal yang melatarbelakangi munculnya rasa ketidaksenangan di berbagai daerah. Pertama, alokasi biaya pembangunan yang diterima dari pusat tidak sesuai dengan harapan daerah. Kedua, di berbagai daerah belum muncul rasa percaya kepada pemerintah.

Dari situlah kita bisa merunut munculnya berbagai gerakan dan pergolakan daerah yang mempengaruhi tatanan politik nasional. Gerakan-gerakan itu bisa berkembang karena adanya dukungan dari beberapa panglima daerah.

1) Dewan Banteng

Di Sumatra Barat muncul Dewan Banteng yang dibentuk oleh Letnan Kolonel Achmad Husein pada tanggal 20–25 November 1956. Achmad Husein adalah Komandan Resimen Infanteri IV. Gerakan ini menuntut agar pembangunan daerah harus dilakukan dengan menggali otonomi seluas-luasnya.

Letkol Achmad Husein mengambil alih pemerintah daerah Sumatra Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Muljohardjo. Salah satu alasannya karena gubernur gagal membangun daerah Sumatra Tengah dan ini diakui secara terus terang oleh gubernur.

Tuntutan Dewan Banteng bisa dipahami oleh pemerintah pusat, tetapi pengambilalihan pemerintah daerah dianggap menyalahi hukum oleh pemerintah pusat.

Dewan Banteng, Dewan Gajah dan Dewan Garuda: Dampak Konflik dan Pergolakan Politik tahun 1960-an
Dewan Banteng

2) Dewan Gajah

Pada tanggal 22 Desember 1956 dibentuk pula Dewan Gajah di Medan oleh Kolonel Maludin Simbolon (Panglima Tentara dan Teritorium I/TTI). Salah satu alasannya karena situasi serta kondisi yang kritis ketika keadaan bangsa dan negara sedang kacau.

Setelah menguasai RRI Medan, Simbolon mengumumkan meskipun Kota Medan kacau, hukum masih bisa ditegakkan. Bahkan, ia menyatakan tetap taat kepada Presiden Ir. Soekarno.

Ini tentu membingungkan rakyat, di satu sisi ia taat kepada pemerintah pusat, di sisi lain ia menguasai beberapa instansi vital di Medan. Langkah Simbolon ini ditentang oleh para perwira Sumatra Utara, seperti Letkol Djamin Gintings (Kepala Staf TTI) dan Letkol Wahab Makmur.

Presiden Ir. Soekarno pun mengingatkan agar Simbolon kembali ke jalan yang benar. Oleh karena tidak menghiraukan seruan itu, Simbolon pun dipecat oleh PM Ali Sastroamidjojo.

Pemerintah kemudian mengirimkan Fact Finding Commission (Komisi Penyelidik Keadaan) untuk meneliti sebab musabab munculnya berbagai gerakan di daerah. Namun, komisi ini ditolak kehadirannya.

3) Dewan Garuda

Di Sumatra Selatan sekelompok politisi lokal berhasil memengaruhi pimpinan militer setempat membentuk Dewan Garuda.

Dalam Piagam Pembangunan yang mereka buat, mereka menuntut pemerintah pusat agar memberi otonomi seluas-luasnya kepada daerah Sumatra Selatan; kerukunan kembali dwitunggal Soekarno-Hatta untuk mengendalikan pemerintahan Republik Indonesia; serta tersalurkannya aspirasi daerah.

Selanjutnya, dengan dalih demi keamanan dan ketenteraman, Letkol Burlian (Panglima TT II) mengumumkan bahwa daerah Sumatra Selatan dalam keadaan bahaya.

Gubernur Winarno Danuatmodjo diminta menyerahkan kekuasaannya untuk memperlancar usaha pembangunan di daerah Sumatra Selatan. Di antara Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda saat itu terjalin komunikasi yang erat, bahkan saling membantu. Ini tentu menyebabkan kekhawatiran pemerintah pusat.